Oleh : Nashirin
Pemilihan
umum (pemilu) sudah sering dilaksanakan. Dari pilpres, pilgub, pilleg,
hingga pemilihan RT. Tidak gampang memang, agar segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam pemilu ada dan siap. Perlu persiapan – persiapan yang
matang, misalnya dari segi penyediaan bilik dan sejumlah kertas suara
yang telah terbagi di masing – masing Tempat Pemungutan Suara (TPS);
Pendataan dan pembagian kartu pemilih. Tentu hal tersebut tidak
membutuhkan biaya yang ringan. Maka dari itu Komisi Pemilihan Umum (KPU)
selaku panitia pemilu sangat berperan penting untuk mengelola agar
berjalan dengan tertib dan lancar. Setiap kali pemilu data pemilih
berubah sesuai dengan data kependudukan. Maka dari itu siapa yang
‘rajin’ pindah Kartu Tanda Penduduk (KTP) ada kemungkinan dia mendapat
dua (2) kartu pemilih. Hal itu tentu bukan kesenangan bagi panitia,
malah yang ada kerancuan data pemilih pada saat itu. Padahal panitia
sudah berupaya untuk membuat kartu suara sesuai dengan data pemilih.
Tapi untuk era perkembangan seperti sekarang ini mungkin mulai dapat
diatasi, yakni dengan pendataan kependudukan yang terarsip tidak hanya
dengan tulisan tangan, melainkan ditambah dengan media elektronik khusus
arsip-arsip sehingga kemungkinan double bisa diatasi.
Sekarang
giliran kertas suara. Kertas suara ini sengaja dicetak sesuai dengan
jumlah pemilih di masing-masing TPS, tidak kurang tidak lebih. Hal itu
guna menyiasati hal-hal yang tidak diinginkan. Seandainya saja terjadi
kekurangan kertas suara, mungkin salah satu ysng terdengar adalah,
“Anggarannya kan banyak, masak sampai kekurangan”. Atau bisa jadi di
pemilihan selanjutnya akan banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya
alias golput.
Sedikit persiapan-persiapan oleh KPU/panitia tadi tidak akan berarti apabila
yang dipilih tidak ada. Untuk hal ini panitia juga masih belum selesai
bertugas. Karena Panitia/KPU juga harus menyeleksi dan
memastikan/menetapkan siapa-siapa saja yang menjadi calon dalam peserta
pemilu, sebelum pemilu diselenggarakan. Hal itu senada dengan Dalam
Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai
berikut :
- Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
- Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
- Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
- Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
- Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
- Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
- Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Salah
satu contoh kita ambil pemilihan presiden. Dalam hal siapa yang
dicalonkan dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil
amandemen Pasal 6A ayat 2, bahwa pasangan calon presiden dan calon wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Selain itu
juga sudah tertuang beberapa syarat kecakapan umum Capres dan Cawapres
yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen
Pasal 6 ayat 1, bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus
warga Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Setelah semua persyaratan-persyaratan baik secara khusus maupun umum
telah terpenuhi, tinggal menunggu hasil keputusan yang lolos seleksi
untuk mengikuti pelaksanaan pemilu.
Yang
dinyatakan lolos seleksi berhak melakukan kampanye. Kampanye juga harus
mampu mangangkat nilai-nilai Pancasila yang sudah mulai hilang,
sehingga keresahan masyarakat terjadi dimana-mana. Jangan asal kampanye
lancar dan memperoleh suara banyak. Hal itu guna
memperluas jaringan bagi rakyat selaku calon pemilih, karena saat ini
rakyat membutuhkan seseorang yang mampu mengembalikan keperkasaan
Pancasila.
Dalam
memperluas jaringan kepada rakyat sangat bervariasi cara. Beberapa cara
tersebut misalnya memasang umbul-umbul partai/calon; menyebar brosur
partai/calon; berkampanye keliling wilayah dengan menyeragamkan atribut
(kaos bahkan ikat kepala) disertai membagikan brosur partai/calon;
bekerjasama dengan rakyat untuk mengadakan kegiatan (jalan sehat,
bazaar, atau kerja bakti / baksos dengan membagikan sembako), tentu saja
itu semua untuk menarik simpati rakyat agar mau memberikan suara/hak
pilih untuk calon tersebut. Rakyat sendiripun berhak menerima maupun
menolak pemberian atas kampanye Si Calon. Dan bukan berarti pula dengan
menerima pemberian dari SI Calon, rakyat wajib memilihnya;
Karena itu kerahasiaan pribadi rakyat. Tidak jarang, dalam hal
berkampanye dengan membagikan sembako kepada rakyat kecil, sering
terjadi masa yang pingsan dan terinjak demi memperoleh sembako padahal
jumlah sembako yang diterima tidak sebanding dengan resikonya. Apa
mungkin hal itu termotivasi dari iming-iming / janji Si Calon? Sehingga
mereka rela berdesekan dan berpanasan. Terkadang rakyat juga memiliki
cara tersendiri dalam mengantisipasi akan adanya kampanye sebelum pemilu
sehingga tidak asal-asalan dalam memberikan hak pilih mereka saat
pemilu tiba. Entah mereka antusias mencari ‘keuntungan’ dari timbal
balik kampanye atau bahkan hanya adem ayem tak ada yang
dilakukan (hanya menunggu datangnya hari H pemilu. Semua itu bebas
dipilih oleh rakyat dan Si Calonpun tidak berhak mencampuri, karena
memang pemilu harus terlaksana LuBerJurDil.
Memang
banyak cara yang ditempuh dalam berkampanye. Namun pada era yang sedang
berkembang seperti saat ini, media komunikasi dan informasi pun bisa
digunakan untuk kepentingan seputar pemilu. Dan biasanya yang paling
disentuh lebih dahulu oleh para Calon adalah televisi. Hal itu
dikarenakan hampir semua orang memiliki televisi dan seiring dengan
fungsi televisi hampir tidak hanya untuk kubutuhan keluarga/bersama
melainkan kebutuhan pribadi. Semua itu akibat dari perkembangan televisi
yang sudah bisa diakses dimanapun kita mau, termasuk di handphone pribadi.
Jadi
setiap kali televisi nyala, iklan Si Calon pun juga akan terus diulang
guna memaksimalkan fungsi media dan memenuhi salah satu hak yang
tercantum dalam UUD 1945 hasil amandemen pasal 28 F, “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”. Dengan melalui televisi akan
mengurangi resiko kecelakaan bila dibandingkan dengan cara kampanye
keliling dan berdesakan dalam pembagian sembako serta hasilnya pun
maksimal; masyarakat tahu berbagai macam info dan profil Si Calon.
Bukan
berarti dalam media elektronik khusunya televisi, tidak ada kendala
dalam kampanye. Karena saat ini pertelevisian swasta di Indonesia
sendiri ada pemilik-pemilik yang juga bergelut di dunia politik. Jadi
tidak perlu heran apabila kampanye melalui televisi akan lebih sering
muncul Calon yang diusung dari pemilik televisi sekaligus partai itu
sendiri. Secara tidak langsung televisi pada saat pemilu akan dikuasai oleh mereka Si Pemilik Televisi dan Si Calon.
Bagi Si Calon yang ingin ‘numpang’ kampanye tentu ada prosedur yang
harus dipenuhi agar kampanyenya dimuat di televisi. Tidak berhenti di
situ saja. Dunia elektronik tidak hanya televisi, masih ada radio. Ya,
walaupun dianggap sudah hampir tidak ada yang ‘melirik’ tapi paling
tidak lumayan membantu. Si Calon hanya mampu meyakinkan rakyat melalui
suara yang di on air saja.
Dunia
informasi dan maya masih bisa dimaksimalkan apabila dunia elektronik
lainnya sudah dikuasai. Malahan dunia informasi berupa internet(blog,
website, iklan) ini bisa lebih mudah diakses oleh siapa saja dan
sekarang pun sudah popular. Yang lebih heboh lagi akan ada program
pemerintah untuk menyediakan Wifi sampai ke pelosok (RT) guna mengajak rakyat selalu update
informasi setiap waktu. Kalau saja hal itu dijalankan maka beruntunglah
dunia politik pada saat itu. Bahkan dunia lainnya pun juga akan merasa
dipermudah. Parpol yang tidak populer terdengar masyarkatpun akan mulai
populer bila ia rajin membuat gebrakan di dunia informasi internet saat
ini; apalagi bagi parpol yang sudah ‘sepuh’ di telinga masyarakat,
bisa-bisa bak artis naik daun. Paling tidak dunia internet akan
mengantar para pengusung calon dan parpol itu sendiri untuk memberikan
info terbaru dari dalam kubu mereka(terutama yang positif dan
menguntungkan mereka).
Dengan
adanya akses internet yang mudah dan cepat itulah kemungkinan semua
aktifitas akan berubah, semua hal kegiatan disajikan. Termasuk juga
penghitungan hasil pemilu yang semula hanya bisa dinikmati melalui
indera pendengaran dan penglihatan dengan menunggu jam tayang, tapi
sekarang akan lebih mudah diakses semau kita tanpa harus menunggu jadwal
tayang. Sekarang tinggal langkah yang harus diambil rakyat (pemilih)
saja untuk menyikapi kemudahan informasi dalam berkampanye. Apakah
mereka lebih nyaman dengan informasi dengan menunggu jam tayang atau
malah lebih memilih jemput jam tayang.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi Pemilihan Umum
UUD 1945 hasil amandemen
http://www.google.co.id/image/pemilu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar