Kamis, 27 September 2012

Pelita Hati - Memaknai Kunjungan Hillary


Ridho Imawan Hanafi
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Hillary Clinton, kembali mengunjungi Indonesia pada 3-4 September 2012. Kunjungan kali ini merupakan yang kedua bagi Hillary sebagai Menlu, setelah kunjungan pertama pada 2009. Sejumlah hal diperbincangkan dalam kunjungan Hillary, seperti persoalan sengketa Laut Cina Selatan, perkembangan Suriah dan juga isu nuklir Iran. Isu “sensitif” seperti renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang Freeport di Papua tak dibahas.
Terkait Laut China Selatan, seperti ditulis Antaranews.com (4/9), Hillary menekankan perlunya pelaksanaan code of conduct (kode tata berperilaku) dan memperingatkan agar jangan sampai ada pihak-pihak yang berusaha untuk meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut dengan mengintimidasi dan mengklaim wilayah secara sepihak. Terkait itu, Hillary memuji upaya Indonesia melalui ASEAN dalam mendorong tercapainya kesepakatan code of conduct di Laut Cina Selatan (Kompas, 5/9).
Bagi AS, kunjungan Hillary ke Indonesia bukan saja sebagai pertemuan bilateral yang sebatas seremonial dua negara karib. Dalam pergaulan kawasan, melalui ASEAN, Indonesia di mata AS memiliki peran yang cukup sentral. Indonesia dilihat AS sebagai negara yang mampu menghadirkan diplomasi damai bagi kawasan Asia Tenggara. Politik luar negeri bebas aktif Indonesia selama ini mampu menghadirkan stabilitas, dan itu menjadi instrumen untuk menghadapi naiknya suhu politik kawasan dengan munculnya sengketa Laut Cina Selatan.
Lalu, apa makna kunjungan Hillary bagi Indonesia sendiri? Selama ini hubungan Indonesia-AS memang akrab. Tetapi apakah keakraban itu sudah mewujud dalam menghadirkan sebuah keuntungan bagi kepentingan nasional? Selama ini, suara-suara inferior selalu muncul jika kita telisik bagaimana jalannya hubungan Indonesia-AS tersebut. Dari hubungan itu yang terbaca adalah bagaimana dominasi kepentingan AS lebih terlihat daripada kepentingan nasional.
Selama ini, isu Freeport seperti dihindari untuk diperbincangkan sebagai menu utama. Padahal isu tersebut banyak berkaitan dengan hajat kebutuhan nasional. Freeport dan juga perusahaaan-perusahaan AS lainnya dinilai telah mengambil keuntungan atas kekayaan alam Indonesia, sementara kemanfaatan bagi kepentingan rakyat Indonesia tidak terlalu jelas. Di Indonesia sendiri, isu tersebut menjadi batu ganjalan setiap kali hubungan Indonesia-AS direkatkan.
Semestinya, kunjungan pejabat sekelas Menlu Hillary Clinton menjadi momentum yang tepat untuk membicarakan kepentingan AS di Indonesia yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat Indonesia sendiri. Pembahasan itu akan memberikan arti penting bahwa betapa hubungan bilateral antara kedua negara juga mengucurkan keuntungan positif bagi keduanya. Bukan sebuah keuntungan yang timpang bagi salah satunya. Karena jika ini yang terjadi, bukanlah sebuah hubungan bilateral tetapi sebuah dominasi bilateral.
Dalam upaya seperti itu, sudah sepantasnya jika Indonesia harus menyodorkan apa-apa agenda yang dibahas dalam setiap kali pertemuan bilateral, terutama dengan AS. Jika dicermati, dari isu bilateral, regional, maupun global yang dibicarakan pada waktu kunjungan Hillary kali ini, maka sedikit sekali yang berhubungan langsung dengan kepentingan rakyat Indonesia. Terkesan bahwa AS lebih siap menyodorkan apa agenda-agendanya daripada Indonesia sendiri. Ini yang kemudian sepertinya kita menjadi tak leluasa terhadap apa yang diinginkan AS, untuk tidak mengatakan agenda yang didesakkan AS.
Oleh karena itu. pada setiap hubungan diplomatik seperti yang dilakukan Indonesia dan AS, hubungan yang sejajar mutlak diperlukan agar tidak terjadi saling dikte. Bagaimanapun Indonesia juga memiliki kepentingan nasional yang harus dijaga sebagai negara berdaulat. Jika hal itu tidak diutamakan, besar kemungkinan kita hanya akan menjadi loudspeaker bagi kepentingan AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar