Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
(AS), Hillary Clinton, kembali mengunjungi Indonesia pada 3-4 September
2012. Kunjungan kali ini merupakan yang kedua bagi Hillary sebagai
Menlu, setelah kunjungan pertama pada 2009. Sejumlah hal diperbincangkan
dalam kunjungan Hillary, seperti persoalan sengketa Laut Cina Selatan,
perkembangan Suriah dan juga isu nuklir Iran. Isu “sensitif” seperti
renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang Freeport di Papua tak
dibahas.
Terkait Laut China Selatan, seperti ditulis Antaranews.com (4/9), Hillary menekankan perlunya pelaksanaan code of conduct
(kode tata berperilaku) dan memperingatkan agar jangan sampai ada
pihak-pihak yang berusaha untuk meningkatkan ketegangan di kawasan
tersebut dengan mengintimidasi dan mengklaim wilayah secara sepihak.
Terkait itu, Hillary memuji upaya Indonesia melalui ASEAN dalam
mendorong tercapainya kesepakatan code of conduct di Laut Cina Selatan (Kompas, 5/9).
Bagi AS, kunjungan Hillary ke
Indonesia bukan saja sebagai pertemuan bilateral yang sebatas seremonial
dua negara karib. Dalam pergaulan kawasan, melalui ASEAN, Indonesia di
mata AS memiliki peran yang cukup sentral. Indonesia dilihat AS sebagai
negara yang mampu menghadirkan diplomasi damai bagi kawasan Asia
Tenggara. Politik luar negeri bebas aktif Indonesia selama ini mampu
menghadirkan stabilitas, dan itu menjadi instrumen untuk menghadapi
naiknya suhu politik kawasan dengan munculnya sengketa Laut Cina
Selatan.
Lalu, apa makna kunjungan Hillary
bagi Indonesia sendiri? Selama ini hubungan Indonesia-AS memang akrab.
Tetapi apakah keakraban itu sudah mewujud dalam menghadirkan sebuah
keuntungan bagi kepentingan nasional? Selama ini, suara-suara inferior
selalu muncul jika kita telisik bagaimana jalannya hubungan Indonesia-AS
tersebut. Dari hubungan itu yang terbaca adalah bagaimana dominasi
kepentingan AS lebih terlihat daripada kepentingan nasional.
Selama ini, isu Freeport seperti
dihindari untuk diperbincangkan sebagai menu utama. Padahal isu tersebut
banyak berkaitan dengan hajat kebutuhan nasional. Freeport dan juga
perusahaaan-perusahaan AS lainnya dinilai telah mengambil keuntungan
atas kekayaan alam Indonesia, sementara kemanfaatan bagi kepentingan
rakyat Indonesia tidak terlalu jelas. Di Indonesia sendiri, isu tersebut
menjadi batu ganjalan setiap kali hubungan Indonesia-AS direkatkan.
Semestinya, kunjungan pejabat
sekelas Menlu Hillary Clinton menjadi momentum yang tepat untuk
membicarakan kepentingan AS di Indonesia yang terkait langsung dengan
kepentingan rakyat Indonesia sendiri. Pembahasan itu akan memberikan
arti penting bahwa betapa hubungan bilateral antara kedua negara juga
mengucurkan keuntungan positif bagi keduanya. Bukan sebuah keuntungan
yang timpang bagi salah satunya. Karena jika ini yang terjadi, bukanlah
sebuah hubungan bilateral tetapi sebuah dominasi bilateral.
Dalam upaya seperti itu, sudah
sepantasnya jika Indonesia harus menyodorkan apa-apa agenda yang dibahas
dalam setiap kali pertemuan bilateral, terutama dengan AS. Jika
dicermati, dari isu bilateral, regional, maupun global yang dibicarakan
pada waktu kunjungan Hillary kali ini, maka sedikit sekali yang
berhubungan langsung dengan kepentingan rakyat Indonesia. Terkesan bahwa
AS lebih siap menyodorkan apa agenda-agendanya daripada Indonesia
sendiri. Ini yang kemudian sepertinya kita menjadi tak leluasa terhadap
apa yang diinginkan AS, untuk tidak mengatakan agenda yang didesakkan
AS.
Oleh karena itu. pada setiap
hubungan diplomatik seperti yang dilakukan Indonesia dan AS, hubungan
yang sejajar mutlak diperlukan agar tidak terjadi saling dikte.
Bagaimanapun Indonesia juga memiliki kepentingan nasional yang harus
dijaga sebagai negara berdaulat. Jika hal itu tidak diutamakan, besar
kemungkinan kita hanya akan menjadi loudspeaker bagi kepentingan AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar