Jumat, 21 September 2012

Jangan Sampai Jokowi Menang, Maling Beraksi!

Linda Tangdialla

Jokowi-Ahok/Jibiphoto

“inilah karakter pemimpin yang sudah hilang di bumi indonesia, kita butuh ratusan pemimpin-pemimpin seperti ini lahir dibumi indonesia sederhana, jujur dan adil.
Begitu komentar sahabat di laman facebook saya menanggapi kemenangan pasangan Jokowi-Basuki  dalam pilkada Jakarta putaran dua hari ini (20/9).
Seorang supir taksi juga mengidentifikasi Jokowi sebagai pemimpin impiannya. Dia mengaku muak melihat korupsi merajalela, melibatkan begitu banyak petinggi partai dan anggota parlemen—yang mestinya menjadi contoh baik bagi masyarakat. Baginya, Jokowi itu bersih.
Jokowi-Basuki  dan tim suksesnya  dengan cerdas memanfaatkan kerinduan mendalam rakyat terhadap  perubahan, dengan mengusung tema Jakarta Baru. Kisah sukses mereka mirip dengan keberhasilan Barack Obama  yang menawarkan perubahan, “Change we can believe in,”  kepada rakyat Amerika yang tak suka lagi dengan George Bush.
Pemilihan gubernur Jakarta begitu menarik sehingga menyedot perhatian sampai ke luar Jawa. Seorang teman pengelola portal berita daerah mengaku animo pembaca website-nya di Sulawesi dan Indonesia Timur  terhadap  informasi seputar pilkada di Ibu Kota meningkat tajam hari ini.
Dapat dipastikan, kemenangan Jokowi juga memengaruhi strategi partai-partai politik dalam menggalang suara terkait pemilihan umum 2014.
Dalam pemilihan secara langsung sosok sang tokoh adalah hal yang utama. Bagaimana karakternya? Track-record-nya? Bersihkah dia?  Bagaimana kemampuannya? Bagaimana dia menghadapi tekanan? Apa visi-misinya?
Mau berapa pun jumlah partai yang mendukung, sekuat apapun mesin partai, penilaian berada langsung di tangan rakyat.
Warga melihat sendiri di televisi berita tentang  pentolan-pentolan  partai politik ternama terjerat kasus korupsi,  lalu bagaimana  mereka akan  percaya ketika para petinggi parpol pendukung Fauzi Bowo  bicara tentang pemerintahan yang bersih, tentang nilai-nilai baik?
Selain media visual, yang dapat mengangkat atau menghancurkan citra seseorang, peran media sosial juga tak dapat disepelekan.
Jika seorang calon memiliki nilai-nilai unggul maka akan mudah ‘menjualnya’ di media sosial. Hasil riset menunjukkan bahwa di facebook maupun twitter,  jumlah pernyataan positif tentang Jokowi lebih banyak dibandingkan pesaingnya. Ketika dia disudutkan dengan isu SARA, popularitasnya di media sosial malah naik.
Tetapi ini tidak bisa di balik, yakni  mencalonkan diri dulu lalu berharap media komunikasi  bekerja membersihkan citra sang politisi dari catatan-catatan miring dirinya.
Persoalannya, seperti kata Jokowi: Jangan sepelekan kecerdasan rakyat!
Dana kampanye nggak berseri—disebut-sebut ada calon gubernur DKI yang menghabiskan sampai Rp1 triliun untuk  pilkada—plus mesin politik yang luar biasa besar  ternyata jadi macan ompong ketika berhadapan dengan kekuatan pilihan rakyat.
Dengan modal kepercayaan kuat dari rakyat wajar jika harapan membumbung pada pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih, termasuk yang kurang masuk akal seperti  masalah kemacetan akan selesai jika Jokowi jadi gubernur, atau pedesterian berubah  nyaman dimana-mana seperti di kota-kota  Eropa!
Masalah Jakarta begitu kompleks, sehingga boleh jadi  jika  gubernur baru grasa-grusu, malah bisa jadi kacau. Tapi kalau terlalu pelan, orang bakal frustrasi.
Jadi, silakan saja jika Jokowi masih ingin blusukan (masuk) ke gang-gang sempit menyapa masyarakat, asal perhatikan persoalan-persoalan lain juga yang tak kalah penting. Kalau keasyikan, bisa-bisa ‘tikus-tikus’  beraksi menggerogoti atau memanipulasi APBD dan peluang untuk mengubah Ibukota menjadi Jakarta Baru pun terbuang percuma.
Jangan sampai Jokowi Menang, Maling Beraksi, seperti judul berita di Kabar24.com edisi Kamis, 20 September. (Kabar24/lt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar