Rabu, 14 November 2012
KRONOLOGIS AKHIR MASA KEPEMIMPINAN SOEKARNO
Redupnya Cahaya Putera Sang Fajar
Jatuhnya
Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan
sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi “mandat”
kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat
itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan
oleh Presiden Soekarno.
Khusus
mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu
merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan
pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu
pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban
melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu.
Berikut
ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai
sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku “Proses Pelaksanaan
Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis
Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato
Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22
Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,” dimulai dengan dikeluarkannya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar,
yang isinya antara lain: “Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan
Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
- Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
- Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas.”
16 Maret 1966
Pangkopkamtib
—atas nama Presiden RI— mengeluarkan surat perintah penangkapan
terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan
perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju
kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat
dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun
dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden
Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS,
dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli
1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang
MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu
Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang
menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden
Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang
dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).
Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris
MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS.
Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi
demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
1-3 Oktober 1966
Massa
KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di depan istana merdeka.
Mereka menuntut agar presiden memberi pertanggung-jawaban tentang
peristiwa G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan
fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan
MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta
kepada Presiden Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban
sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
30 Nopember 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden Soekarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI,
KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif
Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai
keterlibatan Presiden Soekarno dalam G-30-S/PKI
21 Desember 1966
ABRI
mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara lain berbunyi butir
ke-2), “ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak
mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD
1945 seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu
PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau
melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS.”
31 Desember 1966
Pimpinan
MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu,
khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966
tersebut diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbaul
setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara
ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.
6 Januari 1967
Pimpinan
MPRS mengeluarkan surat nomor A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada
Jenderal TNI Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu menegaskan seputar
permintaan bahan-bahan yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain:
“Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah berlangsungnya
Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex-Waperdam I dan
ex-Men/Pangau, telah timbul berbagai suara dan pendapat dalam
masyarakat yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: – Tuntutan
penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan terhadap peranan
Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. –
Tuntutan dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966.”
10 Januari 1967
Presiden
Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap Nawaksara, yang isinya antara
lain: “Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai
penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri menyatakan:
- G.30.S ada satu “complete overrompeling” bagi saya.
- Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya berkata “sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa “Yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”
- Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi’radj di Istana Negara j.l., yang antara lain berbunyi:
“Setelah
saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus
1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan
yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas
Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak
Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak
Presiden menggunakan istilah “Gestok””(Gestok: Gerakan Satu Oktober,
istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967
Pimpinan
MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang Pelengkap Pidato Nawaksara
yang diumumkan Tanggal 10 Januari 1967. Catatan Sementara tersebut
berisikan, antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan keharusannya
untuk memberikan pertanggungan-jawab kepada MPRS sebagaimana ditentukan
oleh Keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa
mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi Presidium Kabinet
Ampera dan para Panglima Angkatan Bersenjata”.
20 Januari 1967
MPRS
mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967 tentang Hasil Musyawarah
Pimpinan MPRS tanggal 20 Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point
besar) antara lain (poin ke-4): “Perlu diterangkan bahwa dalam
menghadapi persoalan-persoalan penting yang sedang kita hadapi, soal
Nawaksara, soal penegakan hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan
konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama telah mengadakan
tindakan-tindakan dan usaha-usaha koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR,
Presiden Kabinet Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan
lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya…”
21 Januari 1967
Mengeluarkan
Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap, yang terdiri dari tiga butir
besar, antara lain (poin II), “Bahwa Presiden alpa memenuhi
ketentuan-ketentuan konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau
No. 01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka Romawi I: “Dalam
Undang-Undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS
sebelum sidang Umum ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus
memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang “cabang”. Pidato saya
yang saya namakan Nawaksara adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya
sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam “progress-report
sukarela” tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima
terdahulu”. Yang berarti mengingkari keharusan bertanggung-jawab pada
MPRS dan hanya menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai
Garis-garis Besar Haluan Negara saja…” dst.
1 Februari 1967
Panglima
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soeharto, dengan
nomor surat R.032/1967, sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua)
berkas, serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan. Petikan
laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu, antara lain sebagai berikut:
“Tujuan penyusunan naskah laporan ini untuk menyajikan data dan fakta
yang telah dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB semenjak
perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam pengumpulannya ditujukan untuk
memperoleh bahan gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap
PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA G-30-S/PKI.
Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi, maka PRESIDEN harus
mempertanggung-jawabkan segala pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik
terhadap peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun langkah-langkah
penyelesaian yang merupakan kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA
dan PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan pemerintahan negara
dimana kekuasaan dan tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai
ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya.”
9 Februari 1967
Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengeluarkan Resolusi tentang
Persidangan Instimewa MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang
dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS selambat-lambatnya bulan Maret
1967, serta meminta kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet
Ampera selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 untuk memberikan
keterangan dan bahan-bahan dalam Sidang Istimewa tersebut untuk
menjelaskan peranan Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra
Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan pedoman para
Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya dalam Sidang
Istimewa MPRS.
9 Februari 1967
DPR-GR
mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi DPR-GR tentang Sidang
Istimewa MPRS. Pada tanggal yang sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum
mengenai Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno dan
Persidangan Istimewa MPRS.
11 Februari 1967
Empat
panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden Soekarno di Bogor,
menyampaikan pendiriannya agar Presiden menghormati konstitusi dan
Ketetapan MPRS pada Sidang Umum ke-IV.
12 Februari 1967
Presiden
bertemu kembali dengan keempat Panglima tersebut, dan saat itu presiden
meminta untuk melakukan pertemuan kembali esoknya.
13 Februari 1967
Para
panglima mengadakan rapat membahas masalah pendekatan Presiden Soekarno
tersebut. Sesudah bertemu dengan presiden, kemudian mereka sepakat
untuk tidak lagi melakukan pertemuan selanjutnya.
16 Februari 1967
Pimpinan
MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap
Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO
NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO. 01/PRES./’67
TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS
NO.5/MPRS/1966. Dan pada tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan
MPRS No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara Persidangan Istimewa
MPRS.
19 Februari 1967
Para
Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan Presiden Soekarno di
Istana Bogor. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan.
20 Februari 1967
Presiden
Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa konflik politik
yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat,
Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden
Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966,
dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua:
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan
penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga:
Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat,
segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan
revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan
MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan
dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam
melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20
Februari 1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima
Tertinggi ABRI, Soekarno.
23 Februari 1967
Jenderal
Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/1996, melakukan Pidato melalui
Radio Republik Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal
penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada dirinya. Pada tanggal
yang sama, 23 Februari 1967, (juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724
tentang pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta
penjelasan terhadap resolusi tersebut.
24 Februari 1967
Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia membuat pernyataan yang isinya antara
lain, mengenai penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa
Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya Sidang Istimewa
MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan tegas
terhadap siapa pun dan golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman Presiden tanggal
20 Februaru 1967.
25 Februari 1967
Pemerintah
mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai telah dilakukannya penyerahan
kekuasaan pemerintahan negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan
MPRS No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto.
7 Maret 1967
MPRS
mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika
sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS
yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk
berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti dituangkan dalam
TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari
Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden
hingga dilaksanakannya Pemilu.(sumber: penasoekarno.wordpress.com)
Petisi Blok Mahakam: Rebut Migas Indonesia dari Asing!
Posted on Oktober 31, 2012 by A Nizami
Kalau ingin Indonesia mandiri mengelola
Migas khususnya Blok Mahakam, mohon klik link di bawah dan sebarkan ke
yang lain. Kalau ada yg punya teman di posisi menentukan lebih baik
lagi….
Ini link untuk nyatakan dukungan:http://satunegeri.com/dukung-petisi-blok-mahakam
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Petisi: Blok Mahakam untuk Rakyat
Blok Mahakam merupakan salah satu ladang gas terbesar di Indonesia
dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari
(MMSCFD). Cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf).
Sejak 1970 hingga 2011, sekitar 50% (13,5 tcf) cadangan telah
dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 miliar. Cadangan
yang tersisa saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus
naik, blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor US$ 187 miliar (12,5 x
1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1700 triliun!
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam ditandatangani oleh
pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang)
pada 31 Maret 1967, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik menjadi
Presiden RI ke-2. Kontrak berlaku selama 30 tahun hingga 31 Maret 1997.
Namun beberapa bulan sebelum Soeharto lengser, kontrak Mahakam telah
diperpanjang selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31
Maret 2017.
Karena besarnya cadangan tersisa, pihak asing telah kembali
mengajukan perpanjangan kontrak. Disamping permintaan oleh manajemen
Total, PM Prancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak
Mahakam saat berkunjung ke Jakarta Juli 2011. Disamping itu Menteri
Perdagangan Luar Negeri Prancis Nicole Bricq kembali meminta
perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik di Paris, 23 Juli 2012.
Hal yang sama disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu
Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012.
Padahal sesuai UU Migas No.22/2001, jika kontrak migas berakhir,
pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN. Apalagi hal ini sesuai
amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional. Pertamina pun
telah menyatakan keinginan dan kesanggupan mengelola blok Mahakam
berkali-kali sejak 2008 hingga sekarang. Namun, Kepala BP Migas
R.Priyono (7/2012), Wamen ESDM Profesor Rudi Rubiandini (13/9/2012) dan
Menteri ESDM (11/10/2012) tampaknya memilih untuk mendukung Total tetap
menjadi operator Blok Mahakam. Hal ini dapat dianggap bentuk
penghianatan terhadap amanat Pasal 33 UUD 1945 karena cenderung
memperkokoh penjajahan asing terhadap bumi pertiwi Indonesia.
Tuntutan
Agar kemandirian dan ketahanan energi nasional dapat dicapai, dan
sesuai dengan amanat UUD 1945 yang harus tetap dipertahankan, IRESS
bersama-sama Rakyat Indonesia menuntut agar Pemerintah:
- Memutuskan status kontrak blok Mahakam melalui penerbitan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri secara terbuka paling lambat 31 Desember 2012;
- Menunjuk dan mendukung penuh Pertamina sebagai operator blok Mahakam sejak April 2017;
- Menolak berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk tawaran kerjasama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas guna memperoleh perpanjangan kontrak;
- Manjamin pemilikan 10% saham blok Mahakam oleh BUMD (Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutai Kartanegara) yang pelaksanaannya dikordinasikan dan dijamin oleh Pusat bersama Pertamina, tanpa partisipasi atau kerjasama dengan swasta;
- Meminta kepada Total dan Inpex untuk memberikan sejumlah saham blok Mahakam kepada Pertamina sejak Januari 2013 hingga 2017, dengan kompensasi (bagi Total dan Inpex) pemilikan saham blok Mahakam dalam jumlah yang sebanding, sejak 2017 hingga 2037;
- Membebaskan keputusan kontrak Blok Mahakam dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik, guna memenangkan Pemilu/Pilpres 2014;
- Mengikis habis pejabat-pejabat pemerintah yang telah menjadi kaki-tangan asing dengan berbagai cara antara lain yang dengan sengaja atau tidak sengaja atau secara langsung atau tidak langsung telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM dan perusahaan negara dan merendahkan martabat bangsa;
- Mendorong KPK untuk terlibat aktif mengawasi proses penyelesaian status kontrak blok Mahakam secara menyeluruh, termasuk kontrak-kontrak sumber daya alam lainnya.
Setiap upaya yang dilakukan untuk membatasi dan menghilangkan hak
Pertamina merupakan penghianatan terhadap konstitusi, melecehkan hak
rakyat dan mengabaikan tuntutan reformasi berupa pemerintahan yang bebas
KKN. Segenap komponen bangsa dan seluruh rakyat Indonesia diminta untuk
mendukung dan bergabung dalam gerakan ini guna tercapainya seluruh
tuntutan dalam petisi.
Jakarta 10 Oktober 2012
Indonesian Resources Studies, IRESS bersama
1989 Penandatangan Petisi:
Petisi Blok Mahakam Tuntut Kedaulatan Migas
INILAH.COM, Jakarta – Guna menjaga kedaulatan di sektor migas, Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat (PBMUR) merencanakan berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, hari ini (Rabu (17/10/2012). Aksi ini merupakan desakan agar pemerintah mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam yang habis kontrak di 2017.Kepada INILAH.COM, Direktur Indonesia Resourches Studies (Iress) yang ditunjuk menjadi koordinator aksi, Marwan Batubara menegaskan bahwa PBMUR merupakan bentuk kegalauan rakyat atas sistem pengelolaan migas. Kesannya, pemerintahan SBY tidak memiliki keberpihakan kepada nasib rakyat.
‘’Blok Mahakam miliki cadangan gas yang besar. Sesuai konstitusi, kekayaan alam tersebut harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat. Tujuan konstitusi itu hanya bisa dicapai kalau dikelola pemerintah. Yaitu Pertamina,’’ tegasnya.
Aksi itu, lanjutnya, kemungkinan akan diikuti oleh ribuan massa dari berbagai kalangan. Termasuk beberapa akademisi kondang seperti Prof Sri Edi Swasono, Prof Mochtar Pabottingi, Prof Romli Atmasasmita, Prof Mukhtasor. Beberapa pengamat ikut pula mendukung gerakan ini, seperti Hendri Saparini, Kurtubi, Pri Agung Rakhmanto, Anies Baswedan, dan masih banyak pula.
Akankah Blok Mahakam diberikan kepada asing? Menurut Marwan, sangatlah mungkin. Beberapa waktu lalu, dirinya mencatat adanya beberapa pernyataan pejabat di sektor migas yang cenderung pro asing.
‘’Misalnya, Wamen ESDM Rudi pernah sampaikan bahwa Total lebih cocok. Demikian pula Kepala BP Migas menyebut mengagung-agungkan Total. Terakhir, Menteri ESDM Jero Wacik bilang Pertamina belum tentu kelola Blok Mahakam. Kok kayaknya ada design kalau Blok Mahakam akan diserahkan ke investor asing yakni Total EP (Perancis),’’ ungkapnya.
Sekadar catatan, Blok Mahakam yang memiliki cadangan gas besar, sampai 27 triliun cubic feet (tcf) dikelola dua ‘pemain’ asing yakni Total E&P Indonesie (Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang), sejak pada 31 Maret 1967. Kontrak berdurasi 30 tahun sampai 1997. Selanjutnya, diperpanjang 20 tahun sampai 2017.
Rencananya, Total EP mendesak adanya tambahan kontrak sampai 2042. Inilah yang menyulut kegalauan di kalangan masyarakat. Karena kontrak tersebut tidak banyak memberikan manfaat untuk rakyat. [tjs]
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1916638/petisi-blok-mahakam-tuntut-kedaulatan-migas
Senin, 12 November 2012
Nama-nama Besar Siap Pimpin Partai Nasdem
Sabtu, 10 November 2012 | 23:32
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) berencana melaksanakan konvensi nasional guna membentuk kepengurusan baru, pasca selesainya urusan verifikasi partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Suasana partai itu pun kian dinamis dengan beredarnya sejumlah nama baru yang disebut bakal memimpin Nasdem.
Konvensi dipilih karena dianggap sebagai cara demokratis untuk menentukan kepemimpinan nasional di partai itu. Menurut salah satu sumber yang menolak disebut namanya di internal Nasdem itu, suasana di partai itu mulai dinamis. Semua meyakini bahwa di dalam konvensi akan digodok sosok yang tepat untuk memimpin Partai Nasdem.
Rumor pergantian jajaran pengurus Nasdem dalam kongres yang rencananya digelar pada Januari 2013 mulai mengemuka.
"Diprediksi akan ada persaingan ketat perebutan pimpinan tertinggi di Partai Nasdem. Ini akan memanas," kata sang narasumber, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (10/11).
Menurut sumber tersebut, sejauh ini ada beberapa nama yang akan digulirkan sebagai calon Ketua Umum (Ketum). Salah satu calon terkuat adalah Surya Paloh, yang tak lain adalah pendiri Nasdem.
Sementara, dari kabar yang didapat, struktur kepemimpinan di daerah, serta posisi Sekjen dan Wasekjen, juga akan dibongkar dengan memunculkan muka-muka baru. Di antara mereka adalah Rachmawati Soekarnoputri, yang tercatat baru bergabung di Partai Nasdem. Kemungkinan dia diarahkan untuk menjadi Wakil Ketua DPP Partai Nasdem. Sebelumnya Rachmawati berpolitik di Partai Pelopor.
Selanjutnya, beredar pula nama Victor Laiskodat yang dulunya adalah kader Golkar, yang disiapkan sebagai Wasekjen. Untuk kursi Sekjen, sang narasumber menyebutkan sejumlah nama akan digaungkan, antara lain yakni Siswono Yudhohusodo, Tedjo Edhy Purdijatno, Ferry Mursidan Baldan, serta Soleh Sholahuddin.
Siswono saat ini masih menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. Sementara Tedjo Edhy Purdijatno mantan KSAL yang kini Ketua DPW Nasdem Jawa Timur. Ferry Mursyidan mantan kader Golkar yang kini di kepengurusan Partai Nasdem. Sedangkan Soleh Sholahuddin adalah mantan Menteri Pertanian dan akademisi dari Lampung.
Lebih jauh, disebutkan pula bahwa proses konvensi akan semakin menghangat, karena keterlibatan sejumlah nama besar di jagat politik nasional. Mereka antara lain adalah mantan Cagub DKI Jakarta Hendardji Supanji, Hamdan Zoelva Lindan, serta Lalu Sudarmaji.
Tedjo Edy Purdijatno pernah tercatat pendiri ormas Nasdem, Surya Paloh, memang akan mengambil alih kepemimpinan puncak Partai Nasdem. Sejauh ini, Ketua Umum Partai Nasdem, Patrice Rio Capella, belum memberikan jawaban saat dikonfirmasi soal kebenaran kabar yang beredar tersebut.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/ Murizal Hamzah
Langganan:
Postingan (Atom)